AKBAR TANDJUNG, STAIB DAN LEGASI PERADABAN ISLAM DI NUSANTARA
AKBAR TANDJUNG, STAIB DAN LEGASI PERADABAN ISLAM DI NUSANTARA :
Tizkār/kado 10 Windu Akbar Tandjung
Oleh : Prof. Dr. M. Yunan Yusuf, MA
Pendahuluan
Bermula dari momen bersejarah diresmikannya Tugu Titik Nol Peradaban Islam Nusantara di Barus. Peresmian itu dilakukan oleh
orang nomor 1 di Indonesia yakni Ir. H. Joko Widodo, Presiden RI ke7, pada hari Jum’at,
sayyid al-ayyam (penghulu hari-hari), 24 Maret 2022 bertempat
di Barus.
Barus, kota yang juga dikenal
dengan beberapa nama melegenda, antara
lain Fansyur (Arab), Polu`shi
(Cina), Pant’chour
(Armenia), Baroussai
(Yunani), dan Varocū (Tamil) adalah kota tua dan bertuah. Berabad-abad yang lalu
Barus sudah memainkan peran sentral dan strategisnya sebagai bandar niaga
lintas benua dengan berbagai komoditinya. Kapur Barus adalah komuditas yang
sangat terkenal, di samping kemenyan, damar dan emas.
Para pelaut dan pedagang mancanegara senantiasa berlabuh
di bandar Barus membeli komuditas tersebut untuk
dijual lagi ke negeri-negeri Asia Barat, India dan Asia Timur. Para pelaut
Mesir sengaja datang ke Barus untuk memperoleh kapur Barus, guna bahan pengawet
mummy Fir’aun. Tidaklah mengherankan bila para pelaut Cina, India dan Arabia berbondong meramaikan bandar Barus.
Hasil bumi kapur
barus sebagaimana disebut
oleh Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar adalah fenomena yang dihadirkan
oleh Al-Qur’an dengan diksi kâfûr artinya
adalah kapur atau kamver. Firman Allah dalam surah Al-Insan [76] ayat 5 :
Sesungguhnya
orang-orang yang berbuat kebajikan akan minum
dari gelas yang campurannya air kafur.
Dalam penafsiran Buya Hamka kapur atau kamver itu adalah zat putih dan wangi, dikeluarkan dari dalam pohon kayu, yang biasa tumbuh di hutan-hutan pulau Sumatera. Lebih populer lagi dengan sebutan kapur barus. Karena di zaman dahulu kala di rimba-rimba pantai Sumatera sebelah Barat, di pantai Baruslah banyak tumbuh pohon kapur itu.
Lanjut Buya Hamka, rupanya kapur yang diucapkan dalam bahasa Arab kâfûr itu telah lama dikenal dan diingini dunia. Besar sekali kemungkinan bahwa di zaman kerajaan Tubba’ di Arabia Selatan kâfûr itu telah dicari orang juga dalam pelayaran yang jauh. Selain dari rempah-rempah yang banyak tumbuh di kepulauan Melayu (Indonesia) ini sejak zaman purbakala, seumpama kayu manis, pala dan cengkeh, setanggi gaharu, dan cendana, kâfûr inilah yang dicari orang, sehingga sudah lama dikenal sampai ke tanah Arab dan Mesopotamia.
Ayat 5 surah Al-Insan di atas menggambarkan bahwa Al-Abrar
(orang-orang yang berbuat kebajikan) kelak di surga disuguhi munuman yang
dicampur dengan kâfûra. Ibnu Asyur
sebagaimana dikutip oleh M. Quraish
Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah menfasirkan kâfûra ini dengan sejenis minyak (dmar) yang diperoleh dari pohon
ntertentu (yaitu sejenais pohon keras) yang banyak terdapat di Cina dan Jawa
maksudnya Asia Tenggara, yang baru diperoleh setelah pohon tersebut berusia 200
tahun. Warnanya putih dan memiliki aroma yang harum.
Baik Ibnu Asyur maupun Buya Hamka muttafaq (sependapat) dalam pandangan bahwa kâfûr – walaupun disebut dalam Al-Qur’an dan juga Hadis – yang tumbuh di Jawa atau di Barus, bukanlah kâfûr yang ada di surga. Perlu diingat bahwa bahwa apa yang disajikan di surga, walau menggunakan nama yang sama dengan apa yang dikenal dalam kehidupan dunia ini, namun hakikat dan rasanya berbeda. Demikian Ibnu Asyur dan Buya Hamka. Kapur barus juga disebut dalam hadis Rasulullah ﷺ yang diterima dari dari Muhammad bin Sirin, dari Ummu ‘Athiyyah (seorang wanita Anshar) ra berkata :
Artinya : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
menemui kami saat kematian putri beliau. Lalu beliau bersabda, ‘Mandikanlah dengan
mengguyurkan air yang dicampur dengan daun bidara tiga kali, lima kali, atau lebih dari itu jika kalian anggap perlu. Dan
jadikanlah yang terakhirnya dengan
kafur barus (wewangian) atau yang sejenis.
Dan apabila kalian telah selesai, beritahu aku.’
Ketika telah selesai, kami memberi tahu beliau. Kemudian beliau memberikan kain
beliau kepada kami seraya berkata, ‘Pakaikanlah ini kepadanya.’ Yaitu, izar
(pakain bagian bawah semacam sarung, pent.) beliau.” (HR. Bukhari no. 1253 dan
Muslim no. 36, 939).
Hadis ini menarasikan ketika putri beliau wafat, beliau
menyuruh para penyelenggara jenazah
memandikannya dengan air yang dicampur
dengan daun bidara
menyiram tiga kali, lima kali, atau
lebih dari lima kali. Jadikanlah jadikanlah siraman yang terkahir dengan
air yang dicampur
dengan kafur barus (wewangian) atau yang sejenis.
Dari kajian content analyzation reasech methodology tersebut diperoleh argument yang kuat
untuk memastikan bahwa Barus sudah dikenal di dunia global, dan secara khusus di dunia Arab, dengan
masuknya diksi kâfûr ke dalam Al-Qur’an dan Hadis.
Barus Gerbang
Masuknya Islam ke Nusantara
Sungguh Barus banyak menyimpan fakta historis yang memastikan kehadiran Islam
di Nusantara. Jejak Islam itu dapat disaksikan melalui dua komplek pemakaman,
yakni Komplek Pemakaman Mahligai dan Komplek Pemakaman Papan Tinggi. Makam ini mengonfirmasikan adanya
komunitas muslim pada masa itu. Di komplek pemakaman ini disemayamkan para
auliya dan ulama yang menjadi penyebar Islam di Nusantara pada abad ke-7
Miladiyah.
Makam-makam tersebut telah berusia sangat tua. Salah satu
dari makam itu diberi nama oleh masyarakat dengan Syeikh Papan Tinggi bernama
asli Syeikh Mahmud termasuk dalam rombongan penyebar Islam pertama di wilayah
Nusantara. Ia merupakan seorang saudagar dan pendakwah yang berasal dari Yaman,
dan diutus ke Asia pada masa khalifah Umar bin Khattab. Syekh Mahmud diduga
merupakan anak cicit dari Abdullah bin Mas`ud. Syekh Mahmud wafat pada tahun 44
H pada masa pemerintahan Muawiyyah bin Abi Sufyan. Syeikh Mahmud diperkirakan
hidup pada abad ke-7 M.
Posisi Barus yang berhadapan langsung dengan Samudra
Hindia menjadi pusat persinggahan pelayaran
internasional. Barus dikenal dunia sebagai daerah
pengahasil kapur. Para saudagar
dari Arab, Yaman, Yordan, India, dan Persia banyak melaksanakan bisnis
rempah-rempah dan kapur barus. Barus juga menjadi tempat pertama yang diinjaki
para ulama utusan khalifah untuk menyebarkan ajaran Islam. Oleh karenanya,
tidak mengherankan jika di Barus terdapat makam- makam Islam.
Barus juga menyimpan berbagai benda
bersejarah seperti perhiasan, mata uang dari emas dan perak, prasasti, serta
fragmen arca. Keberadaan barang-barang ini memperkaya sejarah kawasan tersebut. Barus menjadi terkenal
hingga Eropa dan Timur Tengah
pada abad ke-7 karena produksi kapur barus dan rempah-rempah. Jalur perdagangan Barus juga menjadi
pintu masuknya Islam
ke Nusantara.
Islam dengan peradabannya yang inklusif, toleran
dan moderat masuk
ke bumi nusantara dengan damai
menempuh jalan yang landai, karena Islam datang dengan menebar rahmat di bumi nusantara yang mengakomodasi tumbuh
dan berkembangnya lima agama dunia
lainnya, Kristen Protestan,
Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu serta Parmalim, agama lokal.
Tak pelak lagi, Barus merupakan kota tua yang terletak di
Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara yang menjadi pintu gerbang masuknya
Islam di Indonesia. Jika penyebaran Islam di
Tanah Jawa dilakukan
oleh Walisongo pada abad ke-14
Masehi, maka Islam di Barus telah ada sejak awal abad ke-7.
Akbar Tandjung dan Legasi Peradaban Islam
Bahwa secara faktual tiang pancang tugu Titik Nol Peradaban Islam Nusantara di Barus telah ditancapkan oleh Presiden RI Jokowidodo. Langkah tersebut diiring oleh Bapak Wakil Presiden RI Prof. Dr. KH Ma’ruf Amin dalam kunjungan beliau pada acara Barus Bersholawat untuk Indonesia yang digagas oleh Arif Rahmansyah Marbun, Ketua Umum, Jam’iyah Batak Muslim Indonesia (JBMI), pada tanggal 15 Februari 2023 bertempat di Barus.
Wapres telah memperkokoh
tegak berdirinya tugu Titik Nol Peradaban Islam di Nusantara tersebut
dengan sebuah pernyataan beliau yang
sangat menggugah dan bernilai strategis bagi generasi mendatang. Bahwa di tempat tugu Titik Nol Peradaban
Islam di Nusantara harus ada monumen. Monumen itu bukan monumen mati yang tidak
hidup, tetapi monumen yang memberikan inspirasi. Buatlah tempat-tempat
pendidikan, tempat pelatihan, kegiatan pengajian. Kalau perlu ada perguruan
tinggi, ada studi tentang Islam. Agar Barus dikenal bahwa di sinilah dimulai
titik nol peradaban Islam Nusantara
Dalam upaya memberi makna momen bersejarah tersebut, tokoh nasional,
putra daerah Kabupaten
Tapanuli Tengah, secara
khusus Desa Sorkam,
Bapak Dr. Ir. H. Akbar
Tandjung bersama sejumlah tokoh dan akademisi Tapanuli Tengah
berinisiatif mendirikan perguruan tinggi yang diberi nama dengan
Sekolah Tinggi Agama Islam Barus, disingkat
STAIB.
STAIB sengaja dirangcang menjadi pusat studi Peradaban Islam serta studi Agama-agama guna membangkitkan kembali potensi Barus sebagai pintu gerbang peradaban Islam di Nusantara yang sudah berabad-abad terpendam dalam rahim sejarah. STAIB berdiri di bawah lembaga Maju Tapian Nauli, Yayasan yang didirikan Jenderal Feisal Tanjung bersama Dr. Ir. H. Akbar Tandjung. Dewasa ini Yaysan Maju Tapian Nauli sudah mempunyai 2 lembaga pendidikan, yakni SMA Plus Matauli dan Sekolah Tinggi Perikanan dan Kelautan (STPK). Yayasan Maju Tapian Nauli sekarang dipimpin oleh Fitri Krisnawaty Tandjung, puteri dari Dr. Ir. H. Akbar Tandjung bersama pasangan Krisnina Maharani Akbar Tandjung.
STAIB akan menorehkan kembali posisi Barus sebagai pintu
gerbang Peradaban Islam Nusantara melalui kajian dan research guna menghadirkan Perdaban Islam Nusantara yang
inklusif, toleran dan moderat dengan
titik vokus moderasi beragama di era digital ini. Di sinilah arti penting bahwa
Benda-benda Arkeologi dan Benda Kuno yang sudah
digali sejak 1980-2005 dan sekarang tersimpan di Pasar Batu Gerigis Kec. Barus,
Tapanuli Tengah.
Dengan demikian, tak
pelak lagi, pendirian STAIB menjadi bagian terpenting dan strategis
dari langkah menuju terwujudnya kota Barus sebagai
salah satu “pusat unggulan” (center of
excellence) dalam dunia pendidikan, terutama dalam program studi “Sejarah Peradaban Islam” (History of Islamic Civilization) dan “Agama-Agama Dunia” (World
Religions).
Bila dirunut dari awal, kiprah Dr. Ir. H. Akbar Tanjung
mendirikan SMA Plus Maju Tapian Nauli (SMA Matauli), kemudian dilanjutkan
dengan mendirikan Sekolah Tinggi Perikanan dan Kelautan (STPK Matauli), dan sekarang mendirikan Sekolah Tinggi Agama Islam Barus (STAIB)
Matauli, analog dengan apa yang menjadi tradisi para ulama dalam membangun
sumber daya manusia (SDM) melalui pesantren.
Membuat analog antara STAIB dengan Pesantren . sangatlah
benar dan tepat. Sekurang- kurangnya ada tiga karakteristik yang sama-sama
dimiliki oleh Pesantren dan STAIB. Pertama,
Pesantren sebagai lembaga
pendidikan berkonsentrasi pada
pendidikan dan pengajaran agama Islam. STAIB sebagai lembaga pendidikan
mengajarkan agama Islam yang dirancang secara kurikuler dalam Program Studi Sejarah Peradaban Islam dan Program
Studi Agama-agama.
Kedua, Pesantren, terutama Pesantren Modern menjadikan Bahasa Arab dan Bahasa
Inggeris menjadi menjadi bahasa pengantar pemnbelajaran. STAIB mempunyai tiga
distinksi, yakni Kompetensi Bahasa Arab, Kompetensi Bahasa Inggeris dan
Kompetensi Teknologi Digital. Ketiga, Pesantren menjadikan Tahfizh Al-Qur’an
sebagai jiwa pembelajaran. STAIB mewajibkan
Tahfizh Al-Qur’an sebagai ruh pembelajaran.
Jadi bila para Ulama
dan Kyai kita di Nusantara mendirikan Pesantren, maka Dr. Ir. H. Akbar Tandjung
mendirikan STAIB. Oleh sebab itu STAIB, dari Sekolah Tinggi harus berkembang
menjadi Institut dan akhirnya menjadi Universitas Islam Barus (UIB). Dengan
demikian STAIB sungguh benar-benar menjadi legasi Peradaban Islam di
Nusantara.***
Komentar
Posting Komentar